Masjid Perak, Kota Gede


Masjid Perak Kota Gede


Masjid Perak Kota Gede merupakan masjid tertua kedua di Kota Gede setelah Masjid Agung Kota Gede yang berdiri di sebelah utara Masjid Agung Kota Gede Mataram. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1937 dan selesai pada tahun 1939 (Nakamura 1983, 97-98). Masjid Perak berada di tengah pemukiman penduduk tepatnya di belakang SMA Muhamadiyah, Jalan Mandarakan, Prenggan, Kotagede atau jalan yang menuju Tegal Gendu. Masjid ini hanya berjarak 100 meter dari pasar Kota Gede kearah barat.

Gereja Blenduk, Icon Kota Lama Semarang


Gereja Blenduk, Icon Kota Lama Semarang

Semarang memiliki suatu kawasan bersejarah yang pada sekitar abad 18 menjadi pusat perdagangan. Kawasan tersebut pada masa sekarang disebut Kota Lama. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan wilayahnya, maka kawasan itu dibangun benteng, yang dinamai benteng VIJHOEK. Untuk mempercepat jalur perhubungan terdapat 3 pintu gerbang dibenteng itu maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai HEEREN STRAAT. Saat ini bernama Jl. Let Jen Soeprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang disebut DE ZUIDER POR.

MUSEUM HAJI HIDAYAT (Museum Seni Rupa Indonesia)


MUSEUM HAJI HIDAYAT
(Museum Seni Rupa Indonesia)
Museum Haji Hidayat merupakan museum seni rupa yang dikemas dalam bangunan yang megah dan terencana terdiri dari dua lantai, diatas tanah seluas 5.000 m2 (ditambah 2.500 m2 masih berupa tanah persawahan) Museum seni rupa ini terletak di Jalan Letnan Tukiyat, Sawitan, Kota Mungkid, Kabupaten Magelang (1 jam perjalanan dengan mobil dari Yogyakarta, atau di simpang tiga 2 Km menjelang Candi Borobudur). Museum ini diresmikan pada tanggal 20 April 1994 oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Museum H. Hidayat adalah wujud nyata dari sebuah impian, obsesi dan prestasi dari pelukis Widayat. Impian dan obsesinya untuk memelihara dan mengabadikan karya-karya pelukis muda, khususnya karya mahasiswa ISI Yogyakarta di sana juga terdapat karya pelukis seusia dan seangkatan Widayat seperti Fajar Sidik, Bagong Kussudihardjo, Abdullah, Rusli, Sudaso, Kurnadi, dan karya patung But Bochtar. Menyusul nama-nama dari generasi berikutnya, seperti Subroto SM, Aming Prayitno, Sudarisman, Suwajim, Harjiman, Agus Burhan, Made Djirna, Agus Kamal, Ivan Sagito, Nindityo Adi Purnomo, Kasman Ks, Cahyo Prabowo. dll.

“Wisata Arkeologi”, Antara Ilmu dan Hiburan


“Wisata Arkeologi”, Antara Ilmu dan Hiburan
Dari istilahnya Wisata Arkeologi lebih merujuk pada kegiatan yang bersifat santai atau mencari kesenangan. Sering kali wisata Arkeologi sering disebut sebagai wisata budaya yang cakupanya tentu lebih luas. Wisata Arkeologi bukanlah hal baru, kegiatan ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Herodotus (484-424SM) misalnya, banyak melukiskan kisah perjalanan di Laut Tengah dan Mesir. Maraknya “wisata arkeologi” adalah bagian dari ledakan industri pariwisata sebagai akibat dari proses budaya yang terjadi dalam masyarakat setelah Perang Dunia ke-2. memang, wisata bukan Cuma fenomena ekonomi tapi lebih dari itu adalah fenomena sosial budaya (Apostolospoulus, 1996).

Museum Sonobudoyo, Yogyakarta


Museum Sonobudoyo, Yogyakarta
Museum Sonobudoyo merupakan museum sejarah dan kebudayaan Jawa termasuk bangunan arsitektur klasik Jawa. Museum ini menyimpan koleksi budaya dan sejarah Jawa yang dianggap paling lengkap setelah Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Selain keramik pada zaman Neolitik dan patung perunggu dari abad ke-8, museum ini juga menyimpan beberapa macam bentuk wayang kulit, berbagai senjata kuno (termasuk keris), dan topeng Jawa. Terdapat juga koleksi dari daerah Bali, karena pada waktu itu Bali merupakan bagian dari Jawa. Di dinding bagian dalam gapura sisi Timur terdapat Prasasti dengan Candra Sengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha”, yang berarti Tahun 1886 (Tahun Jawa), atau 1935 Masehi, dimana Museum Sonobudoyo didirikan. Museum ini sebelumnya bernama Java Institute ketika masih milik pemerintah Hindia Belanda setelah diserahkan ke pemerintah Indonesia diganti dengan nama Museum Sonobudoyo.