“Wisata Arkeologi”, Antara Ilmu dan Hiburan

“Wisata Arkeologi”, Antara Ilmu dan Hiburan
Dari istilahnya Wisata Arkeologi lebih merujuk pada kegiatan yang bersifat santai atau mencari kesenangan. Sering kali wisata Arkeologi sering disebut sebagai wisata budaya yang cakupanya tentu lebih luas. Wisata Arkeologi bukanlah hal baru, kegiatan ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Herodotus (484-424SM) misalnya, banyak melukiskan kisah perjalanan di Laut Tengah dan Mesir. Maraknya “wisata arkeologi” adalah bagian dari ledakan industri pariwisata sebagai akibat dari proses budaya yang terjadi dalam masyarakat setelah Perang Dunia ke-2. memang, wisata bukan Cuma fenomena ekonomi tapi lebih dari itu adalah fenomena sosial budaya (Apostolospoulus, 1996).

Berwisata, rupanya merupakan salah satu kegiatan yang dapat memenuhi citarasa gaya hidup melepaskan diri dari kejemuan. Dalam konteks ini, berwisata menjadi upaya melepaskan diri dari lingkungan lama (diversionary), atau upaya pencarian (experiental) dan penjajakan (experimental) akan makna hidup atau jati diri yang baru, bahkan hingga upaya untuk dapat berada (existential) dalam suasana kejawaan baru ( Cohen, 1996b).
Penelitian telah menunjukan pada umumnya masyarakat pasca Industri yag hidup dalam segala kecanggihan lebih merindukan suasana asli (authentic). Karena dengan berkunjung ketempat yang masih asli, mereka akan dapat menemukan kembali jati diri mereka yang sebenarnya, yang justru tidak dapat mereka temukan dalam kehidupan sehari –hari (Lanfant, 1995).
Prospek “wisata arkeologi” memeng sudah tercium oleh agen pejalanan wisata, terutama di negara-negara maju. Namun, tidak jarang negara yang dikunjungi adalah negara yang sedang berkembang, karena disitulah terdapat berbagai aspek kehidupan yang asli.
Dari sudut pandang arkeologi, “wisata arkeologi” haruslah dilihat dari kerangka pengelolaan sumber daya budaya. Dua aspek utama dalam pengelolaan sumber daya budayayang lebih berkaitan dengan tahap “wisata arkeologi” adalah interpretasi dan mitigasi.
Masalah interpretasi tidak hanya dihadapi mereka yang jadi pemandu, tapi juga oleh mereka yang menjadi pengelola warisan budaya. Karena dalam “wisata arkeologi” pakar arkeologi selalu menjadi daya tarik dalam pariwara. Inilah antara lain yang dimaksudkan dengan peran arkeologi sebagai mediator atau enerjemah (Tanudirjo, 1996;1998;1999). Pada dasarnya, menhadirkan masa lampau adalah memberi makna baru yang diperlukan di masa kini. Meskipun demikian, proses mediasi bukanya tidak menimbulkan persoalan karena gambaran tentang dunia purba itu selalu dinamis. Sebagai penghadir msa lampau yang baik, pengelola harus dapat menghadirkan kembali dengan lebih baik dan apa adanya. Berbagai tafsirabn alternatif juga ditampilkan dengan berbagai latar yang mendukungnya. Bahkan teori, metode dan sebagainya bisa dikemukakan untuk memberikan totalitas pemahaman kepada para wisatawan. Sebagai bentuk pengenalan metode dan teori, wisatawan pun bisa diajak untuk melakukan penggalian.
Persoalan ini muncul kembali bial sumber daya arkelogi sebagai objek wisata dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berlatar sosial budaya yang berbeda.hal ini terjadi bila berhadapan dengan Living Monument.
Perbedaan penafsiran pun sering terjadi seperti yang terjadi di Australia. Penafsiran tentang suatu benda oleh suku Aborijin dengan orang Eropa selalu berbeda
Salah satu aspek lain yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan “wisata arkeologi” adalah efek dari kegiatan itu, baik terhadap sumber daya arkeologi sendiri ataupun masyarakat setempat atau yang disebut masalah mitigasi. Efek kunjungan wisata agak sulit diuraikan secara singkat karena kompleksitasnya, apalagi yang berkaitan dengan dampak sosial budayanya.
Harus dipahami pula, memanfaatkan situs arkeologi sebagai tujuan wisata masal berarti mengutamakan penggunaan sumber daya itu secara global. Dalam hal ini sering terjadi situs semakin terisolasi dari masyarakat sekitar. Mungkin karena dipungut biaya atau sebagainya bahkan untuk melaksanakan tradisi mereka pun menjadi sulit, baik sosial, budaya maupun ritual. Padahal justru itu yang tidak diinginkan wisatawan arkeologi masa kini. Mereka justru ingin melihat dunia lampau hidup kembali.
Penetapan situs arkeologi sebagai tujuan wisata sering kali hanya didasari pertimbangan ekonomis semata, sehingga nilai penting lainya ( sosial, budaya, pendidikan) sering terabaikan. Dengan cara itu sebenarnya situs arkeologi tersebut dimatikan aau dijadikan Dead Monument. Padahal justru itulah yang tidak diinginkan wisatawan arkeologi masa kini. Mereka ingin dunia masa lampau dapat hidup kembali.di Indonesia berserakan sember daya arkeologi dari ujung timur sampai barat namun wisata arkeologi masih jauh dari berkembang. Lebih banyak situs arkeologi hanya sebagai barang yang berguna bagi peneliti saja. Tapi harus dapat menjadi milik bersanma.

Currently have 1 komentar:

  1. mantap mas bro infonya..
    Ayo diupdate lagi..
    Itu ce yang di Foto ce mu ya mas bro kwkwkw


Leave a Reply