Candi Sukuh, Candi Erotis

Candi Sukuh, Candi Erotis

candi Sukuh

Jalan-jalan mengunjungi candi bagi seorang arkeolog akan muncul banyak pertanyaan yang muncul. Jalan-jalan kali ini mengunjungi candi di timur kota Solo yaitu Candi Sukuh. Candi Sukuh terletak di dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi Sukuh berada di lereng kaki Gunung Lawu kurang lebih 910 meter di atas permukaan laut. Candi Sukuh merupakan salah satu situs purbakala berupa kompleks candi yang berlatarbelakang agama Hindu karena ditemukan objek pemujaan lingga dan yoni sebagai simbol kesuburan. Bahan batu candi terbuat dari batu andesit. Candi ini disusun berteras  dengan arah membujur arah timur barat membelakang dan pintu masuk di sebelah barat  Susunan teras yang makin ke belakang makin tinggi mirip bangunan prasejarah berupa punden berundak (Perry, 1918; van Heekeren, 1960). Gapura pertama seperti bentuk pylon di Mesir dan bangunan candi induk mirip dengan bentuk piramida terpotong atau bangunan kuno di Meksiko (Stutterheim, 1930: 13). Di kompleks candi ada arca binatang berupa kura-kura, garuda, dan gajah; arca tokoh raksasa yang tak dikenal; Dwarapala; patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana.

Ini lah yag disebut erotis

Arca mirip arca kebudayaan Megalitik yaitu sangat sederhana (sangat tidak proporsional dan penonjolan bagian genetalia serta pemahatan terutama di wajah) dan tidak menunjukkan sifat-sifat kedewaan. Bukti epigrafis tema cerita asli Indonesia berupa cerita ruwatan atau pelepasan yang tidak pernah ditemukan di India dan tokoh Punakawan tidak pernah ditemukan pada relief candi periode Jawa Tengah. Kemunculan unsur-unsur asli Indonesia  ini berkaitan dengan adanya perubahan alam pikiran  yang mendasari dan melatarinya. Tipe dan arsitektur candi ini berbeda dari candi-candi yang lain di Jawa. Perbedaan ciri fisik menunjukkan perbedaan dimensi waktu dan ciri spiritualnya. Ada perubahan nilai budaya di dalam pembangunan candi sebagai hasil budaya yang berhubungan dengan ideoteknik. Perubahan ciri budaya materiil berhubungan budaya spiritualnya.

Candi ini memiliki terdiri atas tiga teras yaitu : 

             Teras pertama

            Teras ini diawali dengan bangunan gapura berupa paduraksa yang mirip dengan pylon, sejenis gapura masuk ke piramida di Mesir. Pada ambang pintu gapura dihias dengan bentuk kala berjanggut panjang,sebuah relief yang tidak ditemui di candi-candi Hindu. Pada sisi kanan dan kiri gapura terdapat relief yang menggambarkan seorang yang tengah berlari dengan menggigit ekor ular naga yang sedang melingkar. Sementara di atasnya terdapat relief yang menggambarkan makhluk mirip manusia yang sedang melayang dan relief seekor binatang melata. Menurut arkeolog KC Cruq, relief ini merupakan sengkalan ( simbol tahun pembuatan ) yang berbunyi gapura buto aban wong yang ditafsirkan sebagai angka Tahun Saka 1359 C atau 1437 Masehi. Yang paling unik yaitu motif yang berada di lantai gapura berupa paduan lingga-yoni dalam bentuk nyata. Gambaran vagina dan penis ini diduga sebagai lambang kesuburan.

            Teras kedua

Gapura pada teras ini sudah tidak utuh lagi. Berdasarkan prarekonstruksi, gapura diduga berbentuk bentar seperti pintu gerbang masuk candi-candi di Jawa Timur umumnya. Di depan gapura terdapat sebuah arca Dwarapala. Arca ini berbeda dengan dwarapala pada arca candi-candi pada umumnya karena nyaris tanpa aksesori, tubuhnya polos, dan gada yang dibawanya tanpa ukiran. Pada gapura ada sebuah sengkalan yang berbunyi gajah wiku anahut buntut yang ditafsirkan sebagai angka Tahun Saka 1378 C atau 1456 Masehi. Ada relief pandai besi.

Teras ketiga

Teras ketiga berupa kompleks candi induk dengan beberapa relief di sebelah kiri dan patung-patung di sebelah kanan serta gapura sudah tidak utuh lagi. Candi induk terletak paling belakang denga arah hadap barat dan berbentuk piramida Mesir yang terpancung bagian atasnya. Candi induk berukuran 15 x 15 meter. Di atas candi induk diperkirakan ada candi yang terbuat dari kayu. Hal ini bisa diketahui karena pada bagian atas candi berbentuk piramida itu ada bekas-bekas umpak batu di empat sisinya. Di sisi kanan-kiri di depan candi induk terdapat relief yang menggambarkan cerita Sudhamala dan Garudeya yang mengisahkan tentang upacara suci ruwatan. Ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya terdapat lubang dan patung kecil tanpa kepala.  Ada juga tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Halamannya banyak relief dan patung yang berhubungan dengan cerita wayang yang menggambarkan ajaran kebebasan beragama .

Urutan reliefnya adalah sebagai berikut :

                       i.       Relief pertama

Pada relief ini dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari Pandawa Lima. Keduanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim  Dewi Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti. Dewi Kunti mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu yaitu Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan. Di hadapan Sadewa terlihat seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang disertai seorang pengiring.

                      ii.       Relief kedua

Pada relief ini dilukiskan Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa, Kalantaka dan Kalañjaya, menyertai Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadari yang dikutuk karena tidak menghormati dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat ada Semar juga wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan ini tampaknya merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) yaitu tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

                    iii.       Relief ketiga

Pada relief ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar, berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

                    iv.       Relief keempat

Pada relief ini digambarkan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.

                     v.       Relief kelima

Relief ini berupa adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa yaitu Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.

Bangunan Candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan. Kesan kesederhanaan ini tampak pada bentuk maupun ukiran. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda W. F. Stutterheim pada tahun 1930. Beliau menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen yaitu sebagai berikut :

1)  Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton.

2)  Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi.

3)  Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Candi Sukuh dibangun dengan konsep punden berundak,sebuah bangunan tempat persembahyangan pada masa prasejarah (Megalitikum). Kualitas dan ukuran candi tidak terkait dengan waktu. Hal tersebut dapat dilihat pada Candi Sukuh yang dibangun ketika kebudayaan lokal mulai bangkit. Candi terakhir ini bukan dibangun oleh para petinggi, para ahli dari kerajaan, tetapi hanya merupakan candi desa yang dibangun oleh masyarakat pinggiran. Candi ini banyak bentuk variatif dan datang dari berbagai unsur budaya.

Dari atas Candi

Candi Sukuh menjadi kontroversial sebab adanya relief phalus vagina di atas lantai pintu gerbang pertama Candi Sukuh yang melambangkan seksualitas. “Seksualitas” ini tampak pada ornamen orang bersenggama secara vulgar dan relief yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria yang sedang ereksi berhadap-hadapan langsung dengan vagina. Relief ini menggambarkan lingga yoni dalam bentuk naturalis sebagai wujud kekuatan laki-laki dan perempuan untuk menimbulkan penciptaan dan kesuburan. Lingga menghadap ke muka (arah keluar) yoni menghadap ke arah masuk  Gambar ini dilingkari tali beruntai-untai sebagai bentuk segitiga melingkari lingga yoni. Mungkin lingkaran mengekspresikan persatuan, ada hubungan dengan persatuan yang seringkali menjadi percaturan soal mistik. Persatuan lingga yoni biasanya distilir, dihubungkan dengan lambang  Dewa Siwa dan Parwati / Uma. Penggambaran relief phalus vagina diperkirakan ada kaitannya dengan fungsi candi.

Lambang persatuan alat kelamin laki-laki dan perempuan telah ada di Indonesia sebelum datangnya pengaruh kebudayaa Hindu. Ada anggapan bagian badan yang vital banyak mengandung kekuatan gaib untuk mengusir roh jahat. Relief ini dapat dianggap lambang kesuburan dan alat ”nyuwuk” atau mengusir roh jahat (van der Hoop , 1938 : 108 ; Bernet Kempers , 1959 : 101). Tema erotik dalam seni bagian dari ‘magi produktif’ merupakan konsep ‘lingga-yoni’ (dalam ideologi Ciwaistik) sebagai metáfora tentang kesuburan. Dalam Ikonogtafi Hindu penggambaran alat kelamin (phalus atau lingga) dan alat kelamin wanita (yoni) dalam seni rupa adalah melambangkan api atau kekuasaan dan bumi, yang apabila kedua unsur itu bersatu akan menghasilkan kekuatan atau energi.

Sumber Pustaka:

Poerbatjaraka. 1952. Kapustakan Djawi. Djakarta : Djambatan

Asmadi,Soewarno dan Haryono Soemadi. 2004. Candi Sukuh. Antara    Situs Pemujaan dan   Pendidikan Seks. Surakarta : C.V. Massa Baru

Zoetmulder,P.J. 1983. Kalangwa Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta : Djambatan

Ayatrohaedi. 1985. Kepribadian Budaya Bangsa ( Local Genius ). Jakarta : Pustaka Jaya

Romli,Inajati Adrisijanti Mohammad. Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Depdikbud

Subroto,PH. 1994. Makna Relief Phallus Vagina Pada Candi Sukuh. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM

Subroto,PH. 1987. Unsur-unsur Budaya Asli Pada Peninggalan Candi Sukuh. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM