GEDUNG SATE PERPADUAN ARSITEKTUR BARAT DAN LOKAL

GEDUNG SATE
PERPADUAN ARSITEKTUR BARAT DAN LOKAL

Bangunan ini terletak di Jalan di Jl. Diponegoro No.22 Bandung yang dahulu disebut Wihelmina Boulevard. Tepat didepan Gedung Sate adalah lapangan Gasibu. Gedung Sate saat ini berfungsi sebagai Kantor Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat Sayap Timur Gedung Sate sekarang ditempati oleh Kantor Pusat Pos dan Giro. Sedangkan bangunan tambahan pada sayap Barat, merupakan Gedung DPRD Propinsi Jawa Barat.

Gedung Sate yang pada waktu itu disebut Gouverments Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia pada tanggal 27 Juli 1920.
Arsitektur Gedung Sate adalah hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delf Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente Van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang diantaranya pemahat, pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kangton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Coblong Dago, Gandok dan Cibarengkok. Pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama GB. Biaya pembangunan Gedung Sate sebesar 6.000.000 Gulden.
Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan langgam arsitektur tradisional Indonesia dan teknik konstruksi Barat menggunakan konstruksi beton bertulang dan merupakan bangunan pertama di Bandung yang menggunakan kontruksi ini. Perpaduanantara kedua langgam arsitektur ini disebut Indo Eropeesche Architectuur Stijln. Arsitektur Gedung Sate merupakan perpaduan antara gaya arsitektur zaman Renaissance dengan gaya arsitektur Hindu dan Islam. Arsitektur Renaissance sendiri adalah arsitektur pada periode antara awal abad ke-15 sampai awal abad ke-17 di wilayah Eropa, ketika terjadi kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno.
Ornamen berciri tradisional seperti pada candi Hindu terdapat dibagian bawah dinding gedung bagian depan, sedangkan pada bagian tengahnya ditempatkan menara beratap tumpang seperti meru di Bali, sesuatu yang lazim pada gaya arsitektur Islam.
Ornamen tiang dengan enam buah bulatan berbetuk mirip sate yang ditusuk ditempatkan pada puncak atap tumpang. Inilah yang menjadi ciri khas dari Gedung Sate tersebut. Sate yang terdapat di puncak atap ada sumber yang menyebutkan hal tersebut adalah lambang dari 6 juta gulden jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Sedangkan gaya arsitektur bergaya renaissance terdapat pada tiang-tiang besar dan banyak juga bentuk lengkung yang ada di antara tiang. Bentuk lengkung bergaya Romawi (renaissance) diantara tiang ini berfungsi sebagai isolasi panas dan sinar matahari dikarenakan panas tidak dapat langsung masuk ke dalam ruangan. Terdapat gang yang menghubungkan bangunan dengan teras hal ini merupakan adaptasi dari daerah Indonesia yang mempunyai iklim tropis dengan curah hujan yang cukup banyak.
            D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte 1952, "Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia". Dr. H.P.Berlage, waktu kunjungan ke Gedung Sate April 1923, juga menyatakan "Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis". Seperti halnya gaya arsitektur Itali di masa renaiscance terutama pada bangunan sayap barat. Sedangkan menara bertingkat di tengah bangunan mirip atap meru atau pagoda


Sumber:
Dari berbagai sumber

Currently have 0 komentar:


Leave a Reply